MATERI KERAGAMAN BUDAYA BANGSA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL BERDASARKAN KEUNIKAN DAN SEBARAN

 

           

MATERI KERAGAMAN BUDAYA BANGSA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL  BERDASARKAN KEUNIKAN DAN SEBARAN

 

Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah. Kata buddhayah merupakan jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan ini, kebudayaan dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal, seperti pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Ketiga hal ini merupakan potensi budaya. Ketiga unsur ini secara implisit dapat kita temukan dalam definisi-definisi tentang kebudayaan yang disampaikan oleh para ahli. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

 

Pengaruh Geografis terhadap Keanekaragaman Budaya

Faktor geografis mempengaruhi sebuah kenaekaragaman budaya. Budaya yang berkembang di suatu wilayah melambangkan karakteristik wilayah tersebut. Contoh, masyarakat yang tinggal di dekat pantai cenderung memiliki mata pencaharian nelayan atau memproduksi garam karena masyarakat tersebut menggunakan alam disekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut menjadi karakterisitik atau cerminan sebuah wilayah.

Faktor geografis keanekaragaman budaya indonesia adalah:

a.    Letak Geografis

Indonesia memiliki ribuan pulau dan memiliki wilayah yang sangat luas. Keadaan tersebut mengakibatkan masyarakat Indonesia terpencar menetap di daerah yang terpisah satu sama lain. Keterbatasan teknologi komunikasi pada masa lalu mengakibatkan isolasi geografis antarmasyarakat yang tersebar di berbagai pulau. Isolasi geografis teresebut mengakibatkan terbentuknya suku bangsa yang hidup terisolasi dari suku bangsa lainnya. Akibatnya, masing – masing suku bangsa mengembangkan budaya, dan adat istiadat masing – masing yang berbeda dari budaya asalnya.

b.   Posisi Strategis

Letak geografis Indonesia yang berada diantara 2 benua dan 2 samudra sangat strategis. Bangsa-bangsa asing pada masa lalu sering bersinggah di Indonesia dan menjalin hubungan dengan Indonesia baik untuk kepentingan ekonomi (gold), kekuasaan (glory), dan agama gospel (gospel). Kedatangan bangsa – bangsa ini membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan Indonesia. Contohnya, kebudayaan Pulau Timor yang dahulu dijajah oleh Portugis berbeda dengan Maluku yang dahulu dijajah oleh Belanda.

c.    Kondisi Ekologis

Lingkungan ekologis terbentuk dari struktur tanah, ekologis, dan iklim yang memberikan kontribusi baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Perbedaan ekologis tersebut mempengaruhi kemajemukan budaya lokal di Indonesia. Penduduk mengembangkan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan ekologis wilayah yang ditempatkannya. Contohnya upacara larung sesaji dan kasada mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tetapi, karena perbedaan geografis, lokasi upacara tersebut berbeda.

 

Persebaran Keragaman Budaya di Indonesia

            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa.

Berbagai kebudayaan lokal tersebar di seluruh Indonesia. Persebaran ini

seiring dengan persebaran suku bangsa Indonesia. Setiap masyarakat yang tinggal

di berbagai tempat di permukaan bumi ini memiliki kebudayaan sendiri sebagai

hasil kreatifitas dalam membentuk dan mengembangkan kebudayaannya, juga

sebagai hasil penerimaan kebudayaan lain yang menyebabkan terdapatnya

beberapa kesamaan kebudayaan pada masyarakat yang berbeda.

            Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia dengan 1.340 suku banga (BPS 2010). Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi. Suku Jawa banyak tinggal di Pulau Jawa akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara. Pembagian kelompok suku di Indonesia tidak mutlak dan tidak jelas akibat perpindahan penduduk, percampuran budaya, dan saling mempengaruhi.

1.    Kebudayaan Gayo di Aceh

Suku Gayo mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Selain itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan sehari-hari mereka. Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan bahasa Suku Karo di Sumatera Utara.

Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap). Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat). Makanan khas suku Gayo adalah masam jaeng, gutel, lepat, pulut bekuah, cecah, pengat, gegaloh.

2.    Kebudayaan Osing di Banyuwangi

Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai larus (lare using) atau "wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.

 Masyarakat Osing memegang teguh agama Islam. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Profesi utama Suku Osing adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda. Kesenian utamanya antara lain gandrung banyuwangi, patrol, seblang, angklung, tari barong, kuntulan, kendang kempul, janger, jaranan, jaran kincak, angklung caruk, dan jedor.

3.    Kebudayaan Banjar di Kalimantan

Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu. Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan. Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran orang Melayu purba yang membawa bahasa Melayik dengan Dayak Barito-Meratus dari suku Dayak Maanyan.

Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah musik panting dan musik kentung. Seni tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton) dan yang dikembangkan oleh rakyat. Masakan tradisional Banjar antara lain sate Banjar, soto Banjar, ketupat Kandangan, kue bika. Senjata tradisional yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah serapang, tiruk, pangambangan, dan duha.

4.    Kebudayaan Bali di Bali

Suku Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya. Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu (sekitar 95%), sedangkan sisanya (sekitar 5%) beragama Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. 

5.    Kebudayaan Manggarai di Nusa Tenggara

Suku Manggarai adalah suku yang berada di Pulau Flores di kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur NTT dan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, seperti suku Ngada, Ende, Lio, Flores Timur. Suku Manggarai sebagian besar beragama Katholik. Alat musik tradisional Manggarai adalah gendang. Gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.

Adat Manggarai terdapat 3 cara atau sistem perkawinan yaitu cangkang (perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku), tungku (perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak laki dengan anak perempuan yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang), cako (perkawinan dalam suku sendiri, biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak.

Bahasa yang digunakan suku Mangarai adalah bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku. Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Seni pertunjukkan caci merupakan puncak kebudaayaan Manggarai yang unik dan sarat makna. Alat-alat musik tradisional adalah sundiga, gong, gendang, tambor, tinding. Selain itu jua memiliki seni tenun yang menghasilkan tenun songke. Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian adalah bercocok tanam, berkebun, berdagang.

6.    Kebudayaan Kaili di Sulawesi

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara, Rai, Unde, Ado, Edo, Ija, Da'a, Moma, dan Bare'e. Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau Kalimantan.

Instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling). Kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung.

7.    Kebudayaan Ternate di Maluku

Suku Ternate adalah suku yang mendiami pulau Ternate, pulau Bacan, dan pulau Obi di Kabupaten Tengah. Orang Ternate mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Ternate. Mata pencaharian orang Ternate bertani dan nelayan. Dalam bidang pertanian mereka menanam padi, sayur mayur, kacang-kacangan, ubi kayu, dan ubi jalar. Tanaman keras yang mereka usahakan adalah cengkeh, kelapa dan pala. Cengkeh merupakan tanaman rempah-rempah yang sudah mempunyai sejarah panjang di Ternate. Cengkeh merupakan daya tarik yang mengundang kedatangan bangsa Eropa ke daerah ini. orang-orang Ternate juga dikenal sebagai pelaut-pelaut yang ulung.selain itu,ternate memiliki beberapa perusahaan tambang yang menjadi sumber mata pencaharian dari masyarakat sekitar ternate (maluku utara). Pemukiman penduduk umumnya membentang di sepanjang garis pantai. Rumah-rumah mereka dibangun di sepanjang jalan-jalan dan sejajar dengan garis pantai di daerah perkotaan. Umumnya orang Ternate beragama Islam.

8.    Kebudayaan Dani di Papua

Suku Dani adalah suku yang mendiami wilayah Pegunungan Tengah, kabupaten Jayawijaya, dan Puncak Jaya. Suku Dani menggantungkan hidup dari alam dengan bercocok tanam sebagai aktivitas utamanya. Setiap hari, Suku Dani menanam sayur mayur kemudian memanen dan menjualnya ke pasar. Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluara bahasa, yaitu sub keluarga Wanodi Bokondini, Dani pusat,dan Nggalik & ndash. Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal.

Masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut antara lain : Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.

Suku Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara 80-200 derajat Celcius, suhu rata-rata 17,50 derajat Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %.

 

 

 

 

Sumber Materi:

Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_bangsa_di_Indonesia)

http://chyntia-abbo.blogspot.co.id/p/budaya-manggarai_04.html

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Pendekatan Geografi dalam kehidupan sehari hari

Geomorfologi Papua